Lukisan Tuanku Imam Bonjol |
Tuanku Imam Bonjol Berasal dari daerah Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, ia lahir di masa kerajaan Pagaruyung pada tahun 1772, Tuamku Imam Bonjol merupakan seorang ulama sekaligus pemimpin perang Padri saat menghadapi Belanda, dan kini ia dinobatkan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 6 November 1973.
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol memiliki nama asli Muhammad Shahab, beliau lahir pada tanggal 1 Januari 1772, ayahnya bernama Bayanuddin, dan ibunya bernama Hamatun. Bahayuddin Shahab adalah seorang ulama terkenal dari daerah Sungai Rimbang, Suluki, Lima Puluh Kota. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat maka Muhammad Shahab diberi gelar Malin Basa, Peto Syarif, dan Tuanku Imam Bonjol.
Julukan Tuanku Imam Bonjol, merupakan gelar yang diberikan Tuanku Nan Renceh, kepada Muhammad Shahab selaku pemimpin kaum Padri di Bonjol, Tuanku Nan Renceh sendiri adalah salah satu pemimpin dari Harimau Nan Salapan, yakni suatu kelompok yang memimpin kaum Padri dalam melawan kaum Adat diperang Padri, silahkan anda baca Harimau Nan Salapan Di Perang Padri.
Mazhab Tuanku Imam Bonjol
Dari dulu sampai sekarang, banyak sekali perdebatan mengenai Mazhab Tuanku Imam Bonjol, dan banyak orang mengatakan bahwa Mazhab Imam Bonjol adalah Wahabi, kaum radikalis yang sengaja memimpin perang melawan Kaum Adat, banyak sekali literatur yang memfasilitasi akan hal itu.
Bagi saya menyebut Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin kaum radikalis Manhaj Salaf, sangat tidak masuk diakal, coba anda telusuri lagi riwayat atau sanad keilmuan dari Tuanku Imam Bonjol, nah mungkin dikesempatan kali ini saya akan menggali riwayat pendidikan dari Tuanku Imam Bonjol.
Dimasa kecilnya Tuanku Imam Bonjol belajar agama dari ayahnya Khatib Bayanuddin, dan belajar ngaji dari surau kesurau, kemudian beranjak dewasa Tuanku Imam Bonjol bersama temanya yaitu Datuak Bandaro berguru kepada Tuanku Nan Tuo di Kota Tuo, Ampek Angkek, Agam, kemudian Imam Bonjol melanjutkan pendidikan agamanya ke Aceh.
Tuanku Nan Tuo sendiri merupakan seorang ulama tarekat Naqsabandiyah, yang cenderung sangat dekat dengan mazhab syafi’i, atau Sunni, disini Tuanku Imam Bonjol bukan hanya belajar ilmu agama, melainkan ia juga mempelajari ilmu silat, dan kerajinan Pandai besi.
Ilmu silat yang dipelajari Tuanku Imam Bonjol, tidak bisa dijadikan dalil atau argument untuk mengatakan Imam Bonjol Radikal, coba anda lihat dipondok-pondok pesantren dari dulu sampai sekarang banyak pondok pesantren yang mengajarkan ilmu silat disamping belajar ilmu agama.
Baca Juga : Perlawanan Sisingamangaraja XII kepada Belanda
Perjalanan Tuanku Imam Bonjol berguru ilmu silat kepada Tuanku Nan Tuo, termuar didalam buku Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, yang ditulis oleh Azyumardi Azra, jadi jika anda ragu dengan artikel ini, maka saya sarankan anda baca buku tersebut.
Menurut Mohammad Nasir seorang Dosen di Fakultas Adab & Humaniora UIN Imam Bonjol, dari riwayat pendidikan agama Imam Bonjol maka dugaan kuat mazhab Imam Bonjol adalag Mazhab Syafi’i dan bertarekat Naqsabandiyah, selain riwayat pendidikan, Tuanku Imam Bonjol memiliki teman bernama Maulana Syekh Ibrahim Al-Khalidi, beliau merupakan Mursyid Tarekat Naqsabandiyah Al-Khalidi.
Perjalanan Imam Bonjol Menjadi Pemimpin Perang Padri
Di tahun 1800 sampai 1802, setelah belajar dari Tuanku Nan tuo, Tuanku Imam Bonjol melanjutkan pendidikan agama kedaerah Aceh, setelah kembali dari Aceh, ia melanjutkan ayahnya mengajar disurau, dan mendapatkan gelar Malin Basa, yaitu gelar bagi tokoh masyarakat yang dimuliakan.
Setahun setelah kepulangan Imam Bonjol dari Aceh, terjadi pergejolakan antara Kaum Adat dan Kaum Padri, dimana kaum Padri bersikukuh ingin menyempurnakan syariat Islam dikalangan masyarakat Minangkabau yang dinilai lalai atau meninggalkan syariat Islam sebagai agama mereka.
Kemudian terjadi perundingan antara kaum adat dan kaum padri, namun setiap proses perundingan tidak menemui kesepakatan akhir, hal ini semakin membuat panas hubungan keduanya, sampai akhirnya kaum Padri menyerang Pagaruyung ditahun 1815 dibawah pimpinan Tuanku Pasaman, perang terjadi di Koto Tangah.
Kemudian bulan Februari 1821, kaum adat melalui Sultan Tangkal Alam Bagagar atas nama kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Hindia Belanda untuk melawan kaum Padri, yang termuat didalam sebuah perjanjian, dalam perjanjian tersebut wilayah Darek diberikan kepada Belanda sebagai imbalanya.
Meskipun kaum adat dibantu oleh Belanda namun didalam peperangan Kaum Padri justru terbilang tangguh, sulit di kalahkan. Baca juga Perang Padri agar anda mengetahui secara lengkapnya.
Ketika Belanda mengalami kesulitan menaklukan Kaum Padri setelah 3 tahun lamanya, terlebih kondisi Belanda yang sedang disudutkan diperang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, maka pada 1824, Gubernur Jendral Johannes van Den Bosch mengajak Tuanku Imam Bonjol yang kala itu sudah menjadi pemimpin Kaum Padri, untuk berdamai didalam Perjanjian Masang.
Pengasingan Tuanku Imam Bonjol
Setelah berhasil ditangkap oleh Belanda, beliau dibawa sejauh mungkin dari Sumatra Barat, pada awalnya ia dibawa ke Cianjur, kemudian dipindahkan kembali ke Ambon, lalu berakhir pembuangan di Keresidenan Manado, Di Minahasa, bersama anak-anaknya di pertengahan tahun 1841.
Sebelum menuju ke Manado, Imam Bonjol sudah di peringatkan oleh Kapitan Melayu di Ambon, untuk tidak kesana, sebab disana bukan lah daerah mayoritas muslim, banyak sekali babi dan anjing yang berkeliaran disana, namun yang dapat memutuskan daerah pembuangan Imam Bonjol ialah hanya pemerintah Hindia Belanda.
Pada awalnya Tuanku Imam Bonjol akan di tempatkan di pusat keresidenan Manado di Minahasa, namun tidak jadi, sebab disana terdapat Kyai Modjo panglima perang Pangeran Diponegoro yang terlebih dahulu dibuang oleh Belanda kesana. Jika kedua tokoh kelas berat tersebut bersatu maka akan menimbulkan masalah baru bagi Belanda.
Kemudian setelah kurun waktu tertentu berada di Manado, maka Tuanku Imam Bonjol dibawa keluar Manado, awalnya beliau dan pengikutnya di bawa ke desa Kombi, Kabupaten Minahasa, untuk mencapai desa ini mereka harus berjalan kaki tiga hari lamanya untuk mencapai desa Kombi ini, sebab jalan menuju kesana tidak dapat dilewati kendaraan seperti kereta maupun kuda dan jenis kendaraan lainya.
Jarak Desa Kombi sejauh 50 km dari kota Manado yang menjadi tanam pembuangan Kiai Modjo, disana Imam Bonjol merasa kurang nyaman saat hendak melakukan Ibadah, maka beliau meminta dipindahkan, kemudian beliau pindah dan membeli tanah di Pineleng.
Jarak Pineleng sekitar 15 Km dari kota Manado, sedangkan tempat pembuangan Kiai Modjo 30 km jaraknya menuju kota Manado yang sekarang bernama desa Jawa Tondano, dikedua tempat ini menyulitkan Kedua tokoh besar tersebut untuk melakukan perlawanan kembali.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Pangeran Antasari
Disekitar tempat pembuangan kedua tokoh besar ini, ada seorang veteran perang Jawa dari laskar pasukan Tulungan dibawah pimpinan Mayor Tololiu dan Kapiten Benjamin Thomas, kemudian Belanda bertingkah seolah bersifat baik bagi masyarakat di pembuangan kedua tokoh tersebut untuk menyulitkan gerak mereka dalam melakukan perlawanan lagi.
Wafatnya Imam Bonjol
Setelah berakhirnya perang Diponegoro 1829-1830, Belanda mempersiapkam kekuatan mereka untuk menguasai Minangkabau atas ambisi mereka untuk memonopoli perdagangan Kopi disana, akhirnya ditahun 1831, Belanda melanggar perjanjian Masang, dengan menyerang Nagari Pandai Sikek, maka secara resmi perang Padri Jilid dua dimulai.
Baca Juga : Alasan Perlawanan Pattimura
Dimasa gencatan senjata dengan Belanda, Imam Bonjol memanfaatkanya dengan mengajak kaum adat untul bersatu memerangi Belanda yang dirasa sangat merugikan masyarakat Minang, dan hendak menghancurkan budaya dan adat Minang.
Maka ditahun 1833, didalam perjanjian yang dikenal sebagai Plakat Puncak Pato di Tabek Patah, secara resmi Kaum Adat sepakat bergabung dengan kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol untuk memerangi Belanda.
Selepas bergabungnya kaum adat dan kaum padri maka secara otomatis perang Padri menjadi perang antara masyarakat Minangkabau melawan Belanda, dan kondisi ini semakin menyulitkan pasukan Belanda.
Terbukti penyerangan besar-besaran yang dilakukan Belanda ke Benteng Bonjol milik kaum Padri, sampai 1837 mereka tidak bisa menembus kuatnya pertahanan Kaum Padri di Benteng Bonjol, bahkan pihak Belanda sampai 3 kali mengganti komansan pasukan dalam misi menyerang Benteng Bonjol.
Setelah dirasa penyerangan yang dilakukan Belanda kurang efektif untuk mengalahkan Kaum Padri, maka dilakukanlah cara licik untuk mengalahkan kaum Padri, Belanda menipu kaum padri dengan ajakan berdamai kepada Tuanku Imam Bonjol. acara perundingan damai tersebut terjadi di Tahun 1837 di Palupuh.
Kali ini ajakan damai tersebut bukanlah gencatan senjata seperti ditahun 1824, melainkan kali ini adalah sebuah tipu daya belanda untuk menjerat Imam Bonjol dan menangkapnya, sesampainya Tuanku Imam Bonjol sampai di Palupuh, maka ia pun ditangkap dan di asingkan ke Cianjur.
Di Cianjur Tuanku Imam Bonjol, dipindahkan kembali ke Ambon, sampai berakhir di Lotak, Minahasa, dan disinilah beliau wafat dan dimakamkan pada tanggal 8 November 1864.
Inilah perjalanan akhir dari Tuanku Imam Bonjol, berawal dari niatnya berlapisi semangat agamis menjadi semangat patriotis dan nasionalis, berjuang melawan penjajah, untuk Bangsa dan tanah airnya, sayang sekali akibat penyelewengan sejarah yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, Tuanku Imam Bonjol difitnah dengan tujuan Radikal, atau penganut wahabi.
Nah itulah Uraian Tuanku Imam Bonjol secara lengkap dan aktual, terimakasih sudah mengunjungi blog ini dan maaf bila ada kesalahan