Ilustrasi Prabu Kian Santang |
Prabu Kian Santang dikenal sebagai anak dari Prabu Siliwangi dan ibunya bernama Nyai Subang Larang yang diyakini telah memeluk agama Islam, Dia memiliki seorang kakak bernama Raden walangsungsang dan kakak perempuan bernama Rara Santang, ketiga putra dan putri Prabu Siliwangi ini dibesarkan dengan pengajaran agama Islam. Tapi belakangan ini ada sebuah teori yang mengatakan Subang Larang bukan istri Siliwangi.
Dari lahir Prabu Kian Santang sudah memiliki keistimewaan berbeda dengan anak kecil pada umumnya, keistimewaan tersebut antara lain dia sudah pandai dalam membaca Alquran, bisa menerawang, membaca pikiran orang lain, dan cenderung bergaul dengan masyarakat mungkin daripada golongan bangsawan.
Sedikit sekali catatan sejarah Kian Santang, kita bisa menemukan dongeng Kian Santang di dalam sebuah catatan Babad Cirebon yang konon tulisan Raden Cakrabuana atau Walangsungsang, Legenda Kian Santang diambil dari kisah nyata Tanah Pasundan.
Kian Santang dikenal sebagai Gagak Lumayung di Tanah Sunda, ada beberapa sumber yang mengatakan dari kecil dia sangat menyukai ilmu beladiri belajar ilmu beladiri dari satu guru ke guru lainnya pada saat remaja Prabu Kian Santang tumbuh menjadi seorang Kesatria Sakti mandraguna dia berguru perguruan ilmu bela diri yang dipimpin oleh Halubalang Pajajaran.
Kesaktian Kian Santang yang sangat tinggi menjadikannya sebagai pendekar pilih tanding, pada zamanya tidak ada pendekar yang dapat mengalahkanya, sampai pada usia dewasa dia tidak pernah melihat darahnya sendiri.
Setelah selesai berguru dia balik ke istana dan kerap kali sering ikut berburu di hutan, selain jago ilmu bela diri Prabu Kian Santang ternyata jago dalam memanah, di setiap perguruannya selalu mendapat hasil buruan yang banyak sampai-sampai Prabu Siliwangi takjub dengan kehebatan anaknya itu.
Menurut buku tulisan yundiafi, Raden Kian Santang selain putra raja Ia pun diangkat menjadi senapati titik senapati adalah istilah yang dipakai oleh kerajaan di Jawa pada umumnya yang rujuk ada seorang panglima, bahasa senapati diambil dari bahasa Sansekerta cenayang artinya adalah tentara dan Pati adalah pimpinan.
Di masa kanak-kanak sampai remaja Prabu Kian Santang adalah anak yang selalu ingin mencoba hal baru, Dia sangat bersemangat sekali ketika berlatih ilmu bela diri sehingga tumbuh menjadi seorang yang tangguh dan pemberani tetapi ia tetap menjadi seorang yang ramah terhadap masyarakat.
Dia memiliki kesaktian ilmu kebal dan dapat menangkis semua senjata apapun, kesaktian ini ia dapatkan dari kesaktian Prabu Siliwangi yang diturunkan padanya. Suatu saat Kian Santang merasa gelisah saat kan belum menemukan jati dirinya lalu ia menemui seorang peramal untuk mencari tahu masalah apa yang dia hadapi.
Peramal tersebut menyuruh Kian Santang menemui seorang kakek-kakek di tanah Mekah menurut dongeng Prabu menemui Si kakek tersebut dengan jalur Ghaib tidak akan bisa menembus akal logika manusia.
Ketika Prabu Kian Santang sampai di Mekkah Ia pun lantas mencari si kakek tersebut, orang yang dicarinya adalah Sayyidina Ali, cerita pertemuan Kian Santang dengan Sayyidina Ali ini sangat populer di kalangan masyarakat, konon katanya dalam pertemuan tersebut prabu ditantang untuk mencabut tongkat milik syaidina Ali, namun ia tak kuasa mencabut tongkat tersebut sampai dari tanganya mengeluarkan darah.
Raden Kian Santang Memeluk Agama Islam
Setelah pertemuan Prabu Kian Santang dengan Sayyidina Ali, ia pun memutuskan untuk masuk Islam dan menjadi murid syaidina Ali, Setelah lama berguru dengan beliau dan memahami ajaran Islam, maka dia memutuskan untuk menyebarkan agama Islam di Pajajaran.
Setelah setelah Kian Santang tiba di Pajajaran dia pun langsung menyebarkan agama Islam Islam atas perintah dari gurunya, namun sebelum dia mengislamkan masyarakat terlebih dahulu prabu mengkhitan orang-orang yang akan masuk Islam.
Disaat mengkhitan beliau melakukan kesalahan dengan memotong kepunyaan orang tersebut sampai habis, sehingga banyak orang yang meninggal akibat itu, kemudian Kian Santang diberi tahu oleh gurunya Syekh Hasanuddin bahwa dalam mengkhitan hanya memotong ujungnya saja.
Baca Juga : Uraian Sultan Ageng Tirtayasa
Dakwah Prabu Kian Santang dilakukan ke pelosok-pelosok desa seperti di daerah Limbangan yang menjadi wilayah pertama target dakwahnya, selain di daerah sana dia juga membuat Surau di daerah Godog, Garut.
Melihat putranya menyebarkan agama Islam tanggapan Prabu Siliwangi hanya diam saja tidak melarang maupun mendukung atas dakwah putranya tersebut, namun ketika Prabu Kian Santang memerintahkan ayahnya untuk masuk Islam menimbulkan kemarahan dari Prabu Siliwangi tersebut.
Selain menyebarkan Islam kepada masyarakat kecil Raden Kian Santang juga berhasil mengislamkan seorang raja Galuh Pakuwon. Atas bantuan dari raja Galuh tersebut Islam dapat menyebar di daerah Galuh Pakuwon, selain itu Prabu berhasil mengislamkan Santoan Suci Mareja, Sunan Sirapuji, Sunan Batuwangi sahabatnya sendiri.
Setelah Prabu Kian Santang meninggal dakwahnya Diteruskan oleh generasi selanjutnya seperti Syekh Jafar Shodiq, Fattah Rahmatullah, Syekh Abdul Muhyi dan Pangeran santri dari Sumedang kemudian ajaran Islam semakin meluas.
Bukti-Bukti Keberadaan Prabu Kian Santang
Menurut masyarakat godog garut Salah satu bukti keberadaan Prabu Kian Santang adalah beberapa benda pusaka seperti golok, keris, dan lain-lain yang dipercaya merupakan peninggalan dari Prabu, sampai saat ini benda-benda tersebut ratusan tahun lamanya dijaga dan dirawat disimpan di dalam kotak yang disebut kandaga lalu dibungkus dengan menggunakan kain warna hijau.
Baca Juga : Fakta Sejarah Candi Borobudur Lengkap
Pada setiap perayaan Maulid Nabi di sana selalu ada proses ngalungsur pusaka, proses ini adalah pembersihan benda pusaka yang diyakini sebagai peninggalan Sunan Rohmat, proses pembersihan ini dimaksudkan untuk melestarikan dan menjaga warisan budaya benda kuno tersebut.
Pusaka Prabu Kian Santang
Pusaka peninggalan Prabu Kian Santang saat ini diyakini masih ada dan tersimpang dengan rapih didalam Kandaga, pusaka tersebut antara lain adalah :
- Terompet, yang digunakan untuk memanggil masyarakat dan menandakan acara musyawarah akan segera dimulai
- Cemeti dan Rante, digunakan untuk mengukur waktu masuknya solat
- Keris, benda ini didapatkan dari warisan ayahnya yaitu Prabu Siliwangi
- Babango, adalah sebuah gunting kecil yang digunakan untuk memotong kepunyaan pria pada saat proses khitan sebagai salah satu syarat masuk Islam
Pada mulanya Sunan Rohmat atau Prabu Kian Santang membawa pusakanya didalam sebuah kotak, untuk disimpan ditempat yang paling aman, konon Sunan Rohmat mendapatkan petunjuk untuk menyimpan benda itu di Gunung Suci, dan pada akhinya ia memutuskan untuk menetap dan menyimpan benda pusakanya ditempat itu yang sekarang menjadi lokasi makam Prabu Kian Santang.
Lokasi Makam Prabu Kian Santang
Keramat Godog yang terletak di lereng Gunung Kracak, desa Lebak Agung, Kec. Karangwitan, Garut, dipercaya sebagai makam dari Prabu Kian Santang, berdasarkan Babad Pasundan, Babad Godog fan Wawacan Prabu Kian Santang Aji.
Babad Godog adalah naskah berbahasa Sunda yang menceritakan Gagak Lumayung sebagai nama lain dari Kian Santang, biasanya masyarakat membacakan Babad Godog diiringi nyanyian atau langgam Sunda.
Isi naskah tersebut adalah cerita Raden Kian Santang memiliki nama lain yautu Gagak Lumayung atau Raden Senggara putra Maharaja Sri Baduga Prabu Siliwangi raja Pajajaran, kemudian ketika Prabu menjadi mualaf namanya bergantu menjadi Sunan Rohmat.Cerita pertemuan Syaidina Ali dengan Kian Santang seperti cerita diatas bersumber dari Babad Pasundan dan Babad Godog.
Raden Kian Santang menetap di Godog sampai meninggal dan di makamkan di sana, di komplek pemakaman terdapat makam sahabat-sahabatnya seperti Sembah Dalem Surepen Suci, Sembah Dalem Kholifah Agung, dan Sembah Dalem Surepen Agung, mereka selalu menemani Kian Santang pada setiap dakwahnya.
Itulah cerita tentang kesaktian Prabu Kian Santang, perlu di ingat cerita ini merupakan dongeng yang diambil dari cerita babad, jadi jangan anggap ini sebagai sejarah, sebab sejarah harus ada bukti yang kuat, seperti prasasti, naskah yang ditulis se zaman, sedangkan babad ditulis sekitar abad 18/19 M tetapi menceritakan 3-4 abad sebelumnya, maka sangat diragukan kebenaranya.