Pangeran Diponegoro |
Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah pemimpin tertinggi di dalam Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang sangat legendaris, alasan perang itu terjadi karena, Belanda merusak tatanan budaya dan adat masyarakat Yogyakarta, dan Belanda merusak makam leluhur sang Pangeran yang terletak di Tegalrejo.
Perang Diponegoro atau juga dikenal sebagai Perang Jawa menjadi begitu legendaris karena dalam peristiwa ini tercatat sebagai perang yang memakan korban terbanyak di Indonesia dalam menghadapi Belanda.
Menurut cercatat sejarah dalam perang ini kedua belah pihak mengalami kerugian materi sebesar 25 juta Gulden dan 15.000 korban tewas dari pihak Belanda yang terdiri dari 8000 tentara Belanda tewas, dan 7000 pribumi, serta dipihak Pangeran Diponegoro, sebanyak 200 ribu korban meninggal.
Biografi Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama asli Bendara Pangeran Harya Dipanegara, ayahnya merupakan Sultan Yogyakarta yaitu Sultan Hamengkubuwono III, beliau sejak kecil diasuh oleh neneknya yaitu Ratu Ageng yang merupakan Istri Hamengkubowono I sang pendiri Kesultanan Yogyakarta.
Ketika Pangeran Diponegoro tumbuh menjadi dewasa, keraton Yogyakarta mengalami beberapa masalah, diakibatkan oleh Belanda yang ikut campur urusan Keraton, seperti pengangkatan dan pemberhentian Raja atau Pati dipilih dan ditentukan Belanda.
Selain hal tersebut Belanda juga membuat rakyat Yogyakarta menjadi sengsara akibat penindasan yang dilakukan Belanda, dari hal ini menjadi salah satu alasan bagi Pangeran Diponegoro, untuk melakukan perlawanan kepada Belanda.
Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan sikap anti pati, sehingga pada tanggal 20 Juni 1825 Belanda menanyakan maksudnya tersebut, waktu itu Mangkubumi dan Dewan Perwalian Kerajaan Yogyakarta sedang berada di Tegalrejo.
Baca Juga : Masa Perjuangan Kapitan Pattimuta
Pangeran Diponegoro yang sedang berada di Tegalrejo bersama dengan Mangkubumi dan pembesar Keraton lainya didatangi oleh Utusan Belanda untuk menanyakan maksud dari sikap pangeran.
Ketika baru beberapa kalimat yang disampaikan utusan Belanda tersebut, terdengarlah suara dari tembakan meriam Belanda, membuat suasana yang sebelumnya terasa mencekam menjadi semakin kacau.
Terjadi bentrokan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda, namun disisi pasukan Pangerab terpaksa mundur karena kekuatan mereka yang tidak seimbang dengan Belanda.
Dalam peristiwa tersebut, Belanda berhasil menduduki Tegalrejo, rumah Pangeran Diponegoro, Masjid dan bangunan lainya habis dibakar oleh Belanda, karena hal ini Pangeran memerintahkan rakyatnya untuk mundur dan berpindah ke Selarong, bersama pamanya Mangkubumi, Diponegoro menuju daerah Kaki Saka, kemudian dilanjut menuju Selarong.
Pangeran Diponegoro diangkat menjadi pemimpin tertinggi dengan pamannya Mangkubumi sebagai penasihatnya oleh Masyarakat Selarong, dan Pangeran Angabei menjadi penasihat perang nya, barulah setelah itu muncul nama seperti Sentot Prawirodirjo dan Kyai Mojo yang menjadi panglima perang dalam Perang Jawa.
Pangeran Diponegoro melakukan Perlawanan terhadap Belanda setelah ia diangkat sebagai pemimpin tertinggi dalam Perang besar di Jawa, maka terbitlah Maklumat perang yang dilakukan di berbagai daerah seperti, Jawa Timur, Tuban, Rembang, Jawa Barat, Bojonegoro, Madiun, Pacitan, dan Jawa Barat, maklumat perang ini disambut baik oleh rakyat yang sudah muak dengan penderitaan dan penindasan yang mereka rasakan cukup lama.
Alasan Pangeran Diponegoro Melakukan Perlawanan
Salah satu faktor penyebab terjadinya Perang Diponegoro adalah perbuatan Belanda yang memasang sebuah patok pembangunan jalan dan melewati makam leluhur Pangeren di Tegalrejo dengan seenaknya tanpa ijin terlebih dahulu.
Merasa dihina dengan perbuatan Belanda membuat Pangeran Diponegoro naik pitam dan memutuskan untuk melakukan pemberontakan bahkan melibatkan hampir seluruh masyarakat Jawa.
Hal itu sudah tentu di tolak oleh rakyat Jawa, sampai mereka mengultimatum perang dengan Belanda. Pangeran Diponegoro melakukan perang grilya untuk menghadapi pasukan Belanda, menggunakan tipu muslihat, serangan cepat dan pengepungan basis pertahanan musuh.
Untuk menghadapi serangan rakyat Jawa, pihak Belanda mengutus Jendral De Kock untuk memimpin pasukan dengan menggunakan taktik strategi Benteng Stelsel, yakni membangun benteng di berbagai daerah kekuasaan Belanda dan dihubungkan ke jalan supaya komunikasi dan gerakan pasukan dapat berjalan lancar.
Sistem benteng ini rupanya dapat membuat pasukan Pangeran kesulitan, akhirnya pada tahun 1629 Kyai Mojo salah satu panglima perang tertangkap lalu di asingkan, disusul oleh pangeran Mangkubumi dan Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada musuh.
Kami telah merangkum 5 poin yang menjadi dasar alasan Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda, yakni :
- Belanda Mengintervensi keraton Yogyakarta, segala urusan pemerintahan termasuk pergantian raja harus berdasarkan persetujuan Belanda.
- Dengan Belanda mengintervensi Kesultanan Yogyakarta, maka dianggap menjadi penyebab rusaknya adat istiadat keraton, dan kehidupan beragama didalam keraton maupun dikalangan masyarakat.
- Para Bangsawan sangat merugi akibat pundi-pundi penghasilan mereka dirampas oleh Belanda, mereka dilarang menyewakan tanah bahkan sampai tanah mereka diambil secara paksa oleh Belanda.
- Belanda banyak menerapkan pemungutan pajak dari berbagai bidang seperti pajak bumi, pajak tanah, pajak jalan, pajak ternak, pajak jembatan, pajak pasar, pajak dagangan, dan pajak kepala, pajak-pajak ini harus dibayar oleh rakyat, Akibatnya membuat rakyat menjadi menderita.
- Belanda melecehkan harga diri Pangeran Diponegoro dan melecehkan nilai-nilai budaya adat istiadat, tindakan Belanda tersebut berupa pemasangan patok-patok pembangunan jalan yang mengenai makam dari para leluhur Pangeran di Tegalrejo.
Pangeran Diponegoro sangat murka kepada Belanda disaat bangsa eropa ini menjelekkan nilai budaya dan adat istiadat orang Jawa dan mencoba untuk merebut hak pewaris kerajaan dari tangan Diponegoro.
Disisi lain Pangeran Diponegoro bersikukuh mempertahankan hak nya sebagai pewaris keraton Yogyakarta dengan segala kekuatan yang ia miliki.
Masyarakat di Tegalrejo menduga akan terjadi peperangan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda, bahkan mereka sudah mempersiapkan diri menuju peperangan di Tegalrejo, dan mereka menanyakan apa yang menjadi tanda peperangan dimulai nanti kepada Pangeran Diponegoro, lantas beliau menjawab “suara Meriam” menjadi tanda peperangan.
Bentuk-bentuk Perlawanan Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro setelah berada di Selarong dan kemudian diangkat menjadi pemimpin tertinggi dalam peperangan rakyat Jawa, serta dikeluarkannya maklumat dari berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, mengetahui hal tersebut Belanda mengirim pasukan dari Semarang yang dipimpin oleh Kumesius, dengan alutsista perang lengkap serta meriam berjumlah 4 pucuk.
Baca Juga : Biografi Lengkap Sisingamangaraja XII
Para pengikut Pangeran Diponegoro mengenal Perang tersebut sebagai perang sabil(semacam perang suci melawan kemungkaran).
Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya terus menerus mengumandakan perang ini dari Selarong menuju ke daerah-daerah lainya bahkan sampai keplosok kampung.
Diawal peperangan, pasukan Pangeran Diponegoro dapat merebut kembali beberapa daerah seperti Pacitan yang berhasil direbut pada tanggal 6 Agustus, dan disusul penaklukan daerah Purwodadi di tanggal 28 Agustus.
Kemudian peperangan dilanjut didesa Dinoyo kabupaten Kedu, Belanda dengan 2000 prajurit gabungan dari Belanda prajurit Tumenggung Danuningrat, yang merupakan bupati Kedu yang menjadi sekutu Belanda, mereka berhasil membuat pasukan Pangeran Diponegoro dibawah pimpinan Seconegoro dan Kertonegoro terdesak dan meminta Bantuan ke Selarong.
Kemudian dari Selarong mengirimkan bala bantuan berupa pasukan Bulkiya, pasukan ini merupakan kesatuan prajurit Pangeran Diponegoro yang sangat berani, pasukan ini dipimpin oleh Haji Abdul Kadir dan Haji Usman Alibasah.
Kemudian pasukan Belanda dan pasukan bupati Kedu berhasil dipukul mundur, didalam peperangan tersebut Tumenggung Danuningrat tewas dan pasukan Bulkiya dapat merampas senjata-senjata Belanda berikut dengan amunisinya.
Pada Tanggal 11 September 1825 terjadi peperangan di Semarang, antara Pangeran Serang melawan Belanda, untuk membendung perlawanan Pangeran Serang, Jendral De Kock mengutus Jendral Van Geen, dari Bone untuk datang ke Semarang pada bulan September 1825, dan kemudian berhasil mengalahkan Pangeran Serang di pertempuran Semarang.
Akhirnya Semarang berhasil dikuasai oleh Belanda, tetapi Pangeran Serang dapat selamat dan lolos ke daerah Sukowati dan bergabung dengan pasukan Tumenggung Kartodirjo dalam melawan Belanda, namun akhirnya daerah Sukowati dan daerah lainya seperti Rembang, Blora, Bojonegoro dapat dikuasai Belanda, hal ini memaksa Pangeran Serang pergi ke Madiun dan bergabung dengan pasukan disana.
Di Madiun, Pangeran Serang bergabung dengan pasukan pimpinan Pangeran Sukur, namun pada Tanggal 9 Desember 1825 terjadi pertempuran disana dan Madiun dapat dikuasai Belanda, kemudian Pangeran Sukur dan Pangeran Serang terpaksa mundur, dan pergi ke Yogyakarta dan bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro.
Kemudian pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jendral Van Geen berusaha untuk menaklukkan Yogyakarta, namun saat pasukan ini sampai di Yogyakarta, mereka dikejutkan dengan penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Pangeran Diponegoro dari arah Barat Laut Yogyakarta dan berhasil mengepung dari berbagai penjuru.
Bahkan lebih buruknya lagi mereka dapat memblok pasokan makanan untuk tentara Belanda yang terkepung tersebut, dari penyergapan ini 27 orang tentara Belanda tewas, berikut pakaian dan uang 50.000 gulden berhasil dirampas dari pasukan Belanda.
Pangeran Diponegoro dan para pasukan setianya terus menerus berupaya melakukan perlawanan diberbagai daerah tanpa kenal letih dan menyerah, hal ini membuat Belanda semakin kesulitan menghadapi gelombang serangan.
Belanda sadar bahwa mereka harus menyerang markas besar Pangeran Diponegoro dan pasukanya di Selarong, namun upaya itu tentu saja tidak mudah.
Untuk mempermudah usaha Belanda, mereka terlebih dahulu merebut wilayah disekitaran Selarong, dengan begitu mereka dapat lebih mudah menggempur Selarong.
Kemudian Kolonel Van Jett mengirimkan pasukan untuk menyerang Selarong pada tanggal 2 Oktober 1825 untuk membalaskan dendam kekalahan mereka di Yogyakarta, namun usahanya tersebut mengalami kegagalan.
Hal ini disebabkan karena Pangeran Diponegoro telah memindahkan markasnya ke daerah Dekso, kemudian disini ia dinobatkan sebagai Sultan Ngabdulkamid Herucokro Mukmini Panoto Gomo Jowo, disana Pangeran Diponegoro membangun kembali pasukannya serta mengangkat pemimpin-pemimpin pasukan baru.
Baca Juga : Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa
Pangeran Diponegoro dan Pasukanya banyak sekali mengukir kemunanganya dari tahun 1825 sampai 1826 namun dipenghujung tahun mereka melemah seakan digrogoti kekuatanya perlahan.
Seperti di Bulan Agustus 1826 salah satu panglima perang Pangeran, bernama Sentot berhasil menyergap pasukan Belanda, dalam peperangan itu semua tentara Belanda tewas terkecuali Komandan Van Green.
Kemudian dalam perang yang terjadi di Lengkong pasukan Diponegoro juga memperoleh kemenangan dan berhasil membunuh Letnan pasukan Belanda, Pangeran Murdiningrat dan pangeran Ponular, mereka berdua membantu pihak Belanda dalam peperangan melawan Pangeran Diponegoro. Kemudian perang di Sadegan berhasil dimenangkan pula.
Ditanggal 29 Juli 1825 Jendral Van Der Capellen mengutus Letnan Jendral Hendrik Marcus De Kock untuk menuju Surakarta, diketahui saat itu Surakarta tidak memihak kepada Pangeran Diponegoro, dan Belanda mendapatkan Informasi keadaan Yogyakarta dan bergabungnya seorang ulama terkenal didesa Mojo, yang lebih dikenal dengan nama Kyai Mojo beserta pengikutnya bergabung dengan Pangeran Diponegoro.
Ditahun 1827 pihak Belanda mulai menambah kekuatan mereka dengan membangun Benteng Stelsel dan melakukan perundingan-perundingan seperti yang terjadi di Sombiroto, dan di Miangi, Kyai Mojo menjadi perwakilan namun mengalami kegagalan.
Kemudian saat Kyai Mojo sedang bersama prajuritnya dalam divisi Bukilyo yang berjumlah 600 orang, mereka diikuti oleh Belanda, kemudian Kyai Mojo berhasil ditangkap dan kemudian diasingkan ke Menado sampai wafat disana.
Kemudian perundingan dilanjutkan dan dari pasukan Pangeran Diponegoro diwakili oleh Sentot namun tetap mengalami kegagalan, kemudian Belanda memanfaatkan Bupati Madiun untuk membujuk Sentot yang menjadi kerabatnya itu, kemudian ditanggal 24 Oktober 1829, Sentot menyerah tetapi dengan syarat memeluk agama Islam dan dapat memimpin pasukannya sendiri.
Setelah Belanda memenuhi syarat yang diajukan Sentot, kemudian ia dikirim Belanda untuk berperang melawan kaum Padri, namun Sentot justru menyerang balik Belanda, kemudian ia berhasil ditangkap dan dibuang ke Cianjur lalu dibuang kembali ke Bengkulu sampai ditahun 1855 ia wafat dan dimakamkan di Bengkulu.
Setelah ditinggalkan oleh 2 orang panglima kepercayaannya, tetapi Pangeran Diponegoro tidak sama sekali patah semangat, ia masih sangat bersemangat berperang melawan Belanda. Didalam suatu perjalanannya dari Manoreh, Diponegoro dikepung pasukan Belanda, sehingga ia terjun ke jurang untuk meloloskan dirinya, setelah kejadian ini ia memiliki 2 orang panglima perang pengganti Sentot dan Kyai Mojo, yakni Roso dan Benteng Wareng.
Setelah berkali-kali Belanda mencoba menangkap Pangeran Diponegoro namun selalu mengalami kegagalan, sampai Belanda membuat undian atau saimbara untuk siapa saja yang dapat menangkapnya akan dihadiahi 50.000 Gulden, kedudukan dan wilayah atau tanah.
Pangeran Diponegoro kemudian menerima Kolonel Cleerens Menjelang Bulan Suci Ramadhan tepatnya pada tanggal 16 Februari 1830 sebagai utusan Belanda untuk menemuinya.
Kemudian ditanggal 18 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditemani Basah Martonegoro, Kyai Badarudin, dan putranya Diponegoro Anom menemui Jendral De Kock untuk melakukan perundingan di Magelang.
Pangeran Diponegoro dijebak dan Berhasil ditangkap pada perundingan tersebut, kemudian dibawa ke Semarang dan dipindahkan ke Jakarta kemudian dibuang ke Manado.
Pangeran Diponegoro dipindahkan dari Manado ke Benteng Rotterdam di Ujung Pandang, ia dipenjara selama 25 tahun kemudian wafat, kisahnya ini kemudian diabadikan didalam catatan berjudul Babad Diponegoro yang berbahasa Jawa dan memiliki tebal 700 halaman.
Hasil Perlawanan Pangeran Diponegoro
Pada Tahun 1828, salah satu Panglima perang Pangeran Diponegoro yang bernama Kyai Mojo berhasil di tangkap Belanda, kemudian dibuang ke Manado, kemudian setahun setelah Kyai Mojo tertangkap, kini giliran Sentot Prawirodirjo yang merupakan panglima perang Pangeran Diponegoro menyerah kepada Belanda dengan syarat boleh memeluk Islam dan memimpin pasukannya dalam perang Belanda.
Kemudian Belanda mengirimkan Sentot dan pasukannya menuju Sumatra Barat untuk memerangi kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol, namun Sentot justru ikut bergabung kedalam pasukan Tuanku Imam Bonjol dan berperang melawan Belanda, sampai Akhirnya Sentot ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dan dibuang ke Bengkulu.
Setelah ditinggalkan 2 orang kepercayaannya tersebut, keadaan Pangeran Diponegoro dan pasukannya terus terdesak, tetapi mereka tetap melakukan peperangan, dan Belanda menghadiahi 50.000 Gulden untuk siapa saja orang yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau mati.
Baca Juga : Bentuk Perlawanan Cut Nyak Dien
Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung bertahun-tahun tersebut dapat membuat Belanda merasa sangat kesulitan menangkap Pangeran Diponegoro dan menumpas Perlawanannya, karena Perang Jawa tersebut membuat kerugian yang sangat besar bagi Pihak Belanda, ribuan tentaranya tewas, dan mengalami kerugian materi jutaan Gulden.
Selain jalur peperangan dan saimbara, pihak Belanda dibawah pimpinan Jendral De Kock mengupayakan untuk berunding dengan Pangeran Diponegoro, kemudian pada tanggal 28 Maret 1830 terjadi perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda di Magelang.
Sayang sekali didalam perundingan tersebut Belanda menggunakan kelicikannya untuk menjebak dan menangkap Pangeran Diponegoro, beliau dibawa ke Batavia, setelah sebelumnya dibawa ke Semarang, kemudian dari Batavia, ia diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan kembali ke Makassar sampai wafat disana pada tanggal 8 Januari 1855, maka penangkapan Pangeran Diponegoro dalam perundingan di Magelang, menandakan secara resmi berakhirnya perang Jawa atau Perang Diponegoro.
Nah itulah sejarah Pangeran Diponegoro dan Alasannya melakukan perlawanan terhadap Belanda, dari saya begitu saja mohon maaf dan terima kasih.